Lemahnya Manajemen Konflik
Jumat, 30 November 2012
Label:
Hukum
0
komentar
Untuk mengawali tulisan ini penulis mencoba memulainya dengan mendefinisikan
manajemen. Apa itu manajemen? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) manajemen
bermakna penggunaan sumber daya secara
efektif untuk mencapai sasaran atau tujuan. Sedangkan konflik menurut Nardjana (1994)
adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda
atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya
saling terganggu. Dengan demikian dari dua kata tersebut di atas dapat
dimaknai, manajeman konflik adalah usaha-usaha yang dilakukan secara sadar, arif
dan bijaksana untuk menyelesaikan sebuah perbedaan sehingga bisa diterima oleh
kedua pihak yang berbeda pendapat tersebut.
Sebagai konsekuensi dari sebuah konflik yang tidak dikelola
dengan baik adalah jatuhnya korban. Tidak jarang kita dengar sebuah konflik
berakhir dengan korban jiwa, kerugian harta benda, serta yang jauh lebih memprihatinkan
lagi adalah korban fsikologis yang mendalam bagi masyarakat. Bukan itu saja, ternyata
lemahnya manajemen konflik juga menyebabkan orang-orang yang tidak berdosa seperti
anak-anak dan balita ikut menjadi korban. Kita bisa lihat bagaimana konflik di
Poso, Ambon, Lampung, termasuk konflik lahan di Jambi, dan masih banyak lagi
konflik-konflik lain yang sampai hari ini masih belum terselesaikan. Bayangkan
saja kalau sampai konflik ini kemudian menjalar, terus menerus, dari daerah
yang satu ke daerah yang lain tentu akan melahirkan rasa ketidakamanan dan ketidaknyamanan
bagi masyarakat.
Namun apa hendak dikata nasi sudah menjadi bubur. Konflik sudah
terlanjur terjadi, dan saat ini yang harus dilakukan adalah bagaimana
mencarikan jalan keluar yang tepat agar konflik ini segera diselesaikan.
Mengenali Konflik
Sebuah konflik tentunya tidak lahir dengan begitu saja,
melainkan diawali dengan hukum sebab akibat. Dalam ilmu Sosiologi konflik bisa
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: konflik vertikal dan konflik
horizontal. Konflik vertikal terjadi antara dua kelompok dengan kelas atau
derajad yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara kelompok yang
sekelas atau sederajad. Sebagai contoh bagaimana konflik antar sesama warga masyarakat
yang memperebutkan lahan. Kita bisa lihat kasus yang terjadi di Kabupaten Tebo,
Bungo, Batanghari dan kabupaten lainnya.
Konflik yang terjadi di Provinsi Jambi akhir-akhir ini umumnya
dipicu oleh masalah perebutan hak atas pengelolaan lahan. Masing-masing pihak baik
perusahaan maupun masyarakat sama-sama merasa menjadi pengelola lahan yang sah.
Disatu sisi perusahaan merasa sudah mengantongi izin dari pemerintah untuk
mengelola lahan, sementara di sisi yang lain masyarakat setempat merasa mereka
sudah puluhan tahun mengelola lahan tersebut yang dianggap sebagai tanah adat. Jika
dibiarkan maka hal ini tentu akan berimplikasi terhadap hubungan masyarakat
dengan para pengusaha yang notabene
sama-sama warga negara yang sama-sama mempunyai hak untuk hidup.
Untuk mendeteksi dan menyelesaikan sebuah
konflik tentu kita harus mengenali terlebih dahulu apa saja yang menjadi pemicu
konflik. Ada beberapa hal yang menjadi pemicu terjadinya konflik yaitu:
Pertama Kepentingan
(Interest), Suatu kepentingan
memotivasi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Motivasi ini tidak hanya dari keinginan pribadi seseorang, tetapi juga
dari peran dan statusnya karena adanya kepentingan. Tentu seseorang atau
sekelompak orang rela melakukan apa saja demi mempertahankan kepentingan yang
diklaim menjadi hak mereka.
Kedua Emosi (Emotion), Emosi berkaitan dengan perasaan
yang menyertai sebagian besar interaksi manusia, antara lain: rasa marah,
benci, takut, cemas, bingung, penolakkan dan sebagainya. Ketika emosi itu
memuncak maka kejernihan berpikir akan hilang, pada saat itulah kita akan kehilangan
kendali dalam mengendalikan akal sehat kita.
Ketiga Nilai (Value), Nilai ini merupakan komponen
konflik yang paling susah dipecahkan karena nilai merupakan sesuatu hal yang
tidak bisa diraba dan dinyatakan secara nyata. Nilai berada pada kedalaman akar
pemikiran dan perasaan tentang benar dan salah, baik dan buruk, yang pada
umumnya mengarah pada sikap dan perilaku manusia.
Strategi
Mengelola Konflik
Sebuah konflik tidak selalu berkonotasi negatif. Dengan
manajemen konflik yang baik sebuah konflik akan bisa dikelola sehingga akan
melahirkan hal yang positif. Menurut Stevenin
(2000, pp.134-135), ada lima langkah dalam menyelesaikan konflik. Lima langkah
berikut ini bersifat mendasar dan umum dalam mengatasi berbagai jenis konflik:
Pertama Pengenalan, Kesenjangan antara keadaan yang ada dengan
keadaan yang seharusnya (das sein das sollen). Seringkali di lapangan kita menemui kesalahan
dalam mendeteksi masalah, sehingga akan berpengaruh dalam usaha mencarikan solusi.
Kedua Diagnosis, Inilah langkah yang terpenting.
Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan
bagaimana, pertanyaan-pertanyaan tesebut dicarikan jawaban yang seobjektif
mungkin. Kita jangan terjebak dengan gejala dari masalah inti. Tetap usahakan
memusatkan perhatian pada masalah.
Ketiga Menyepakati suatu solusi, Berkaitan dengan kegiatan
mengumpulkan jalan keluar yang bisa diterima oleh orang-orang yang terlibat di
dalamnya.
Keempat Pelaksanaan. Ingatlah bahwa akan selalu ada
keuntungan dan kerugian. Hati-hati, usahakan jangan sampai pertimbangan ini
terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
Kelima Evaluasi. Penyelesaian itu sendiri dapat
melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak
berhasil, kita bisa kembali lagi ke langkah-langkah sebelumnya.
Beberapa hal tersebut di atas bisa dijadikan bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam menyelesaikan sebuah konflik. Kita tidak
harus menunggu konflik itu terjadi baru kita sibuk mencarikan jalan keluarnya. Tapi
sebelum konflik itu terjadi kita sudah bisa deteksi secara dini. Pemerintah juga
punya peranan penting dalam mengelola sebuah konflik. Salah satunya dengan cara
memperketat serta memperjelas izin pengelolaan lahan. Jangan sampai terjadi
penyalahan dalam penggunaaan izin.
Selama ini kita terkesan mengabaikan benih-benih konflik yang
sewaktu-waktu bisa meledak. Sebelum hal itu terjadi pendekatan-pendekatan
dengan mengutamakan dialog-dialog dan sharing
pendapat secara terbuka dan berkelanjutan tentu akan memberi pengaruh yang
besar bagi pemahaman dan pengertian dari masyarakat. Bagaimana mungkin
masyarakat yang sudah sekian lama mengelola lahan tetapi tidak memiliki izin
dari pemerintah mau menyerahkan lahan mereka secara tiba-tiba kalau tidak diawali
dengan pendekatan-pendakan persuasif.
Konflik memerlukan sebuah pengelolaan sehingga tidak akan
bermakna negatif. Untuk itu dalam menangani masalah konflik pendekatan
musyawarah lebih diutamakan. Musyawarah bisa dijadikan sarana untuk mengelola
perbedaan pendapat tersebut.
Namun ketika pendekatan
musyawarah tidak bisa menghadirkan rasa keadilan maka baru dilakukan pendekatan
hukum. Sehingga dengan cara ini diharapkan akan dapat memberikan rasa keadilan dan
kepastian hukum bagi masyarakat.
0 komentar: to “ Lemahnya Manajemen Konflik ” so far...
Posting Komentar