-

PKL, Diberi Kredit tapi Dikejar-kejar Juga..

Senin, 05 Desember 2011

Kompas: Kadang memang tidak mudah menilai kebijakan pemerintah. Antara satu kebijakan dengan kebijakan lain suka tidak nyambung, membuat kita sulit menerka sebenarnya maunya pemerintah itu apa.

Sekitar 3-4 bulan lalu saya diundang sebuah instansi pemerintah yang khusus menangani masalah kemiskinan untuk diskusi, bersama beberapa orang lain tentu saja. Di situ pemerintah menyampaikan berbagai programnya, yang intinya bertujuan untuk mempercepat proses penanggulangan kemiskinan.

Tapi dari apa yang dipaparkan, saya hanya melihat aspek “membantu orang miskin” melalui berbagai paket bantuan. Itu tidak salah, tapi tidak cukup untuk memecahkan masalah kemiskinan. Memecahkan kemiskinan juga harus dilakukan, dan terutama, melalui upaya untuk membuat orang miskin menjadi tidak miskin, dan itu hanya bisa dilakukan melalui pasar kerja. Idealnya, pemerintah mendorong penciptaan lapangan kerja bagi orang miskin. Kalau tidak bisa, dan kelihatannya memang demikian, maka pemerintah harus mendukung upaya mandiri yang dilakukan orang-orang miskin dalam memperoleh pekerjaan.

Saya pribadi melihat, menjadi pedagang kaki lima (PKL) merupakan salah satu solusi mandiri yang diambil oleh orang-orang ‘kecil’. Tapi pemerintah kelihatannya tidak mendukung upaya itu. Buktinya, semakin banyak pemerintah daerah yang ‘anti PKL’. Berkali-kali diberitakan melalui media massa, PKL digusur dan diusir, dengan alasan “mengganggu keindahan”, dan pemerintah (pusat) membiarkan terjadinya penggusuran dan pengusiran itu (lihat Gambar). Tidak jarang razia PKL diikuti dengan perampasan barang-barang milik PKL, yang hanya bisa diambil kembali dengan membayar sejumlah uang. Padahal pemerintah selalu bilang “pro poor” dan tidak pernah bilang “pro keindahan”.

Saya tidak bilang keindahan (dan ketertiban) itu tidak penting, tapi jelas tidak lebih penting dibandingkan upaya mencari penghasilan. Apalagi di negara yang jumlah penduduk miskinnya masih lebih dari 30 juta dan pemerintahnya berulangkali berkoar tentang kebijakan “pro poor” seperti Indonesia ini.

Waktu hal itu saya kemukakan dalam diskusi, tanggapan pihak pemerintah tidak positif. “Itu tidak ada dalam tupoksi kami. Kalau didiskusikan di sini bisa panjang lebar. Nanti kita bisa cari waktu khusus untuk mendiskusikannya,” kata pimpinan instansi itu.

Saya tentu saja kecewa dengan jawaban itu, tapi memilih untuk tidak memperpanjang, mengingat waktu yang memang terbatas.

Ingatan saya tentang diskusi itu kembali muncul saat membaca berita di berbagai media, bahwa pemerintah berencana memberikan KUR (kredit usaha rakyat) kepada PKL. Itu disampaikan oleh Menteri Negara Koperasi dan UKM.

OK, boleh juga.. Tapi saya jadi bingung (lagi). Sebenarnya maunya pemerintah apa sih? Kalau memang mendukung perkembangan PKL, mestinya pemerintah bisa menginstruksikan semua pemda untuk mengatur PKL di daerahnya tanpa harus menggusur dan mengusirnya. Kota Solo, misalnya, bisa dijadikan contoh. Tidak semua bisa diselesaikan, memang, tapi Walikota Solo membuktikan bahwa PKL bisa ditangani secara manusiawi, tidak pakai gusur menggusur dan usir mengusir.

Atau pemerintah memang menganggap PKL sebagai ‘penyakit’ karena banyak menggunakan fasilitas-fasilitas umum dan ‘mengganggu keindahan’? Kalau memang demikian, kenapa akan diberi kredit segala?

Pemerintah, pliiis dech!