Separuh Lebih Kepala Daerah Bermasalah
Minggu, 27 Maret 2011
Fitra: Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan menyatakan, mahalnya ongkos politik yang harus dikeluarkan calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) menyebabkan separuh lebih provinsi di Indonesia, dipimpin kepala daerah bermasalah.
“Hal ini menunjukkan bahwa sistem perekrutan politik daerah melahirkan pemimpin daerah korup. Sejatinya, pesta demokrasi lokal yang menjadi ajang saluran kedaulatan rakyat daerah tercemar oleh gurita tradisi politik uang. Para kontestan dituntut menghalalkan segala cara demi memenangi kontestasi lokal,” katanya, kepada SP, di sela-sela seminar nasional bertajuk “Pemilu yang Lebih Baik : Pengelolaan, Pendanaan, dan Keterwakilan,” di Jakarta.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut antara lain Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Daniel Zuhron, pengamat politik dari CSIS J Kristiadi, dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fisip UI Sri Budi Eko Wardani. Acara ini digagas oleh The Asia Foundation.
Dia menerangkan, dalam kontes pilkada, sebenarnya dapat dibedakan antara ongkos pencalonan dan penyelenggaraan. Ongkos pencalonan merupakan biaya yang diperlukan calon kepala daerah untuk membayar partai politik pengusung dan untuk menarik simpati pemilih. Hasil penelitian Fitra pada 14 daerah menunjukkan, sepuluh daerah harus memangkas belanja program dan kegiatannya, termasuk pendidikan dan kesehatan, pada tahun pilkada diselenggarakan.
Dia melanjutkan, penelusuran lebih jauh, postur anggaran pilkada sebagian besar dialokasikan untuk honor penyelenggara yang tidak terstandardisasi antardaerah.
“Pembiayaan dari APBD mempengaruhi besarnya anggaran pilkada. Misalnya, modus memperbanyak kelompok kerja dan menjadi penghasilan baru bagi KPUD. Penentuan besarnya anggaran pilkada juga menjadi arena tawar-menawar yang memengaruhi netralitas penyelenggara,” katanya.
Dalam politik anggaran Pilkada, Yuna menerangkan, adanya pengaruh incumbent dalam politik anggaran Pilkada. Biaya penyelenggaraan Pilkada yang berasal dari APBD membuka peluang bermainnya aktor-kator penentu dalam pembahasan APBD.
“Aktor kunci dalam pembahasan anggaran terdiri dari Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan anggaran, Sekretaris Daerah sebagai pejabat pengelola keuangan daerah, DPRD yang memiliki fungsi anggaran, dan KPUD sebagai kuasa pengguna anggaran. KPUD seringkali tersandera dengan penentuan anggaran,” katanya.
Selain itu, Yuna melanjutkan, pengaruh incumbent menjadi semakin kuat bilamana partai pendukung incumbent merupakan mayoritas dari partai-partai DPRD.
“Dalam skenario ini, DPRD seringkali menjadi faktor penguat calon incumbent khususnya ketika proses pembahasan anggaran Pilkada. Dia melanjutkan, potensi pengggunaan APBD melalui kegiatan sosialisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dapat menguntungkan calon tertentu. Ditanyakan, jika mengubah pemilihan dari langsung menjadi pemilihan oleh DPRD, Yuna mengatakan, usulan itu hanya memindahkan masalah.
“Itu mengatasi masalah dengan masalah baru. Demokrasi langsung jelas merupakan ajang kedaulatan rakyat tertinggi untuk memilih seorang pemimpin. Kita semua tahu, episentrum politik uang berada pada wilayah partai politik dan calon. Maka adalah tidak benar jika justru rakyat yang dikorbankan kehilangan hak pilihnya,” katanya.
Mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada, katanya, tidak boleh menjustifikasi pengembalian pilkada kepada DPRD. “Biaya pilkada bisa jauh lebih murah dengan cara memangkas honor penyelenggara, yaitu dengan membatasi pembentukan kelompok kerja (Pokja), menghapus Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan mengurangi jumlah Kelompok Kerja Pemungutan Suara. Honor penyelenggara dapat dipangkas separuhnya tanpa mengurangi kualitas pilkada. Penghematan biaya pilkada juga dapat dilakukan dengan sumber pembiayaan APBN,” katanya.
Sekretariat Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Daniel Zuhron mengatakan, mekanisme pemilihan gubernur baik secara langsung maupun tidak langsung melalui DPRD, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Daniel mengatakan, jika dilakukan pemilihan gubernur langsung memiliki kelebihan karena dapat tercipta sebuah proses demokratisasi karena seluruh masyarakat dapat menggunakan hak pilih untuk memilih pemimpin yang dikehendakinya.
Namun, pilkada langsung memiliki kelemahan karena bisa menghamburkan banyak biaya, dari dana APBD yang merupakan hasil keringat rakyat. Jika gubernur dipilih DPRD, katanya, akan melemahkan posisi demokrasi di negeri ini akibat pemimpin tidak ditunjuk langsung oleh rakyat. Direktur Eksekutif Puskapol UI Sri Budi Eko Wardani menyatakan, keterwakilan kaum perempuan di DPR meningkat namun kecenderungan dominasi laki-laki makin kuat di DPRDKabupaten/Kota.
“Itu merupakan penelitian dari 9 parpol yang lolos Parliamentary Treshold nasional memiliki pengaruh terhadap naiknya jumlah perempuan di DPR. Parpol yang meraih suara besar otomatis mendorong jumlah perempuan yang terpilih,” katanya.
Parpol, katanya, sebaiknya menerapkan kuota internal sebesar 30 persen keterwakilan perempuan. “Terutama 3 parpol besar, Demokrat, Golkar, dan PDIP,” katanya.
Pengamat politik J Kristiadi menyatakan, politik kekerabatan masih kental di Indonesia. “Ada salah satu provinsi yang politik kekerabatannya sangat kuat,” katanya. Dia mengatakan, politisasi birokrasi dinilai menghancurkan birokrasi.
“Pengerahan PNS untuk tim sukses dalam Pilkada masih belum bisa dihapus meski UU menyatakan, PNS tidak boleh menjadi tim sukses,” katanya. Dia melanjutkan, Pilkada bisa merusak rakyat sebab minimnya pendidikan etika berpolitik yang santun. [W-12]
0 komentar: to “ Separuh Lebih Kepala Daerah Bermasalah ” so far...
Posting Komentar