Sengketa Aset di Daerah Pemekaran
Sabtu, 08 Desember 2012
Label:
Hukum
0
komentar
Keinginan
Kota Sungaipenuh untuk menguasai aset secara penuh adalah hal yang wajar
sebagai konsekuensi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008
Tentang Pembentukan Kota Sungaipenuh. Begitu juga sebaliknya adalah hal yang
wajar pula ketika Pemerintah Kabupaten Kerinci merasa keberatan dan
mempersoalkan beberapa pasal dalam undang-undang tersebut, khususnya yang
berkaitan dengan aset.
Tidak
dapat dipungkiri sengketa aset ini muncul setelah dimekarkannya Kabupaten
Kerinci menjadi dua wilayah yakni Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh. Sebagian
pihak menganggap pemekaran Kabupaten Kerinci masih menyisakan polemik terutama
masalah aset yang berimbas memburuknya hubungan antara pejabat Kota Sungaipenuh
dengan pejabat Kabupaten Kerinci yang juga tentunya akan berpengaruh buruk terhadap
percepatan pembangunan di kedua wilayah ini.
Padahal
seperti diketahui tujuan dari pemekaran sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah: Salah satu tujuan Pemekaran daerah
adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Dengan
pemekaran wilayah diharapkan dapat memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
baru, mampu meningkatkan berbagai potensi yang selama ini belum tergarap secara
optimal, baik potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia, membuka
“keterkungkungan” masyarakat terhadap pembangunan dan dapat memutus mata rantai
pelayanan yang sebelumnya terpusat di satu tempat/ibukota kabupaten atau ibukota
kecamatan, memicu motivasi masyarakat untuk ikut secara aktif dalam proses
pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
Namun
apa yang terjadi sekarang, Pemekaran Kabupaten Kerinci dengan dibentuknya Kota
Sungaipenuh yang awalnya diharapkan dapat meyelesaikan masalah ternyata malah
sebaliknya. Pemekaran terkesan telah melahirkan masalah baru. Salah satunya
adalah sengketa aset, khususnya aset yang dianggap produktif. Beberapa aset
yang disengketakan diantaranya adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta
Sakti dan Kincai Plaza yang menjadi
pusat perbelanjaan terbesar di wilayah Kerinci dan Sungaipenuh.
Egosentris Sektoral
Sebagai bentuk desentralisasi otonomi daerah di Indonesia telah
mengalami banyak perkembangan ini dibuktikan dengan perubahan-perubahan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Adanya otonomi urusan
pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah daerah memberikan dampak yang
kompleks dalam pelaksanaanya, meskipun terkadang tujuan utama otonomi daerah
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar lebih mudah sering dikesampingkan
oleh kepentingan elit politik.
Contoh
kecil bisa kita lihat atas statement pejabat
Kota Sungaipenuh di salah satu media massa lokal terbesar di Provinsi Jambi beberapa
hari yang lalu yang kalau boleh saya kutip “Sumber
air kita cukup, kita tidak akan beli air dari Kerinci. Kalau Kerinci mau
menutup air sungai Batang Merao, silakan saja, intinya kita tidak akan beli
air, cukup dangan air yang ada”. Statement
ini penulis anggap terlalu berlebihan, karena akan berdampak kurang baik terhadap
usaha penyelesaian sengketa yang sedang dilakukan.
Yang
kita khawatirkan justru adalah ketika gayung itu nantinya bersambut. Statement yang dibuat oleh pejabat Kota
Sungaipenuh dibalas lagi oleh pejabat di Pemerintah Kabupaten Kerinci dengan
egosentris pula. Kalau sampai terjadi perang statement tentu keinginan kita untuk mempercepat penyelesaian
sengketa ini akan terhambat. Untuk itu semua pihak perlu menahan diri dan tetap
mengedepankan rasa kekeluargaan, dengan hati yang dingin serta pikiran yang
jernih demi kepentingan bersama.
Idealnya
para pemimpin yang baik harus mampu membangun komunikasi politik yang baik pula
dengan masyarakat yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya dengan mengumbar statement yang dapat memancing emosi
pihak lain. Apalagi kita dikenal dengan masyarakatnya yang santun akan budi
bahasanya.
Miskin Kreatifitas
Sikap
ngotot kedua pejabat soal aset tersebut tidak lepas dari persoalan nilai
ekonomis. Aset tersebut dianggap oleh kedua belah pihak sangat potensial dalam
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Anggapan seperti ini secara tidak
langsung mengisyaratkan ketidakmampuan mereka dalam menggerakkan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) dalam berinovasi menciptakan sumber PAD yang lebih
produktif, ketimbang harus memperebutkan aset yang sebagian dananya masih
menjadi hutang yang harus dicicil. Padahal masing-masing SKPD bisa didorong
untuk lebih kreatif dalam menciptakan program-program yang berkualitas yang
bisa mendatangkan pendapatan untuk menggerakkan roda perekonomian daerah
masing-masing.
Selama
ini baik Kabupaten Kerinci maupun Kota Sungaipenuh terkesan hanya
menggantungkan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari
pemerintah pusat. Sudah seharusnya sekarang kita ubah mindset kita dengan tidak melulu menggantungkan sumber dana
pembangunan daerah dari pusat melalui DAU dan DAK, tetapi kita dituntut untuk
lebih mengoptimalkan dan memaksimalkan sumber daya yang ada di daerah serta
menciptakan sumber-sumber PAD yang baru. Dengan demikian tujuan dari pemekaran akan
tercapai sesuai harapan. Semoga pemekaran ini akan membawa perubahan yang
berarti.
0 komentar: to “ Sengketa Aset di Daerah Pemekaran ” so far...
Posting Komentar