-

KPK vs Koruptor DPR

Rabu, 04 Februari 2009


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus naik daun. Upaya gigih mereka mulai menyentuh dan mengejutkan beberapa episentrum korupsi. Salah satunya adalah pusat korupsi politik (political corruption) di parlemen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tentu saja masih ada beberapa gelintir anggota DPR yang mempunyai idealisme antikorupsi, tetapi mereka adalah kelompok yang masih harus bekerja keras, di tengah menukiknya citra buruk DPR ke titik nadir. Tertangkapnya beberapa anggota DPR menjadi bukti tak terbantahkan bahwa ada oknum yang telah menyalahgunakan kewenangan pengawasan, legislasi, dan penganggaran yang dimiliki DPR.

Di bidang monitoring, misalnya, muncul kasus pengalihan lahan hutan lindung. Pada proses legislasi muncul kasus korupsi aliran dana BI untuk memuluskan pembahasan Undang-Undang Bank Indonesia. Di bidang budgeting, banyak muncul kasus terkait pengadaan barang dan jasa (pro-curement). Maka langkah penindakan (represif) memang menjadi pilihan yang tak terelakkan. Tentu saja penindakan yang tepat sasaran, menjerat pelaku utama (dalang) yang secara rakus melakukan korupsi (corruption bugreed). Di sisi lain, langkah-langkah pencegahan (preventif) tidak boleh dilupakan. Dalam konteks pencegahan itulah kita seharusnya dapat memahami kenapa KPK berinisiatif ikut serta dalam rapat pem bahasan anggaran di DPR.

Pencegahan Korupsi

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kewenangan membahas anggaran justru menjadi pintu masuk bagi beberapa oknum DPR untuk melakukan korupsi. Jika kita menyadari hal tersebut, seharusnya DPR justru merasa terbantu dengan pengawasan rapat pembahasan anggaran yang dilakukan KPK. Bahwasa DPR mempunyai mekanisme kerja internal terkait tertutupnya rapat pembahasan, itu dapat dikecualikan untuk KPK. Hal itu utamanya karena KPK, berdasarkan undang-undangnya, memang diberikan kewenangan untuk mengawasi dan mencegah potensi korupsi.

Kewenangan preventif itu secara tegas diatur dalam Pasal 6 huruf d UU KPK. Di situ disebutkan bahwa KPK, "melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi". Mengenai kewenangan pengawasan diatur dalam Pasal 6 huruf e, yaitu KPK "melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara". Adapun ketertutupan rapat anggaran di DPR tidak ada dalam Undang-Undang Susunan dan Kedudukan DPR. Dengan demikian, seharusnya DPR tidak alergi dengan inisiatif KPK untuk ikut dalam rapat pembahasan anggaran DPR. Terlebih kehadiran KPK hanya sebagai pemantau yang tidak ikut mempunyai suara, apalagi penentu dalam pengambilan keputusan.

Kalaupun ada argumentasi bahwa larangan kehadiran KPK itu karena peraturan dan tata tertib yang mengatur pembahasan anggaran di DPR bersifat tertutup, mestinya aturan tata tertib demikian tidak boleh membatasi kewenangan pencegahan dan pengawasan antikorupsi yang dimiliki KPK. Dalam perspektif hukum tata negara tegas-tegas dikenal prinsip aturan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Maknanya, suatu peraturandan tata tertib tidak dapat membatasi kewenangan yang diatur undang-undang.

Apalagi argumentasi demikian sebenarnya keliru, Peraturan Tata Tertib DPR mengatur, "... rapat Panitia Anggaran... pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tersebut memutuskan tertutup." Jadi nyatalah argumentasi yang melarang keikutsertaan KPK dalam rapat pembahasan anggaran berdasarkan Tata Tertib DPR adalah argumen yang koruptif dan manipulatif.

Paradigma Luar Biasa

Satu-satunya argumen untuk menolak keikutsertaan KPK dalam rapat pembahasan anggaran adalah tidak adanya urgensi. Padahal, sangat banyak argumen yang bisa dipaparkan terkait tingginya potensi koruptif dalam pembahasan anggaran, dan karenanya KPK memang dibutuhkan untuk hadir mengawasi serta memberikan masukan agar sistem rapat anggaran demikian lebih zero tollerance to corruption.

Hal lain, penolakan keikutsertaan KPK hanya benar dengan pendekatan normal, business as usual. Padahal korupsi di Indonesia nyata-nyata tidak bisa didekati dengan cara normal, alias biasa-biasa saja. Seluruh peraturan perundangan antikorupsi bersepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Maka, paradigma keluar-biasaan itu memang harus konsisten dilakukan. Kehadiran KPK, pengadilan khusus korupsi, komposisi hakim antikorupsi yang sebaiknya didominasi hakim ad haus-dan bukan hakim karier-adalah sistem hukum luar biasa yang coba diterapkan untuk membasmi habis korupsi.

Dalam kacamata luar biasa itulah saya mengusulkan konsistensi semua langkah pemberantasan korupsi. Pemberatan hukuman bagi koruptor, misalnya, tidak terkecuali hukuman mati bagi pelaku utama - bukan lapangan, yang telah berulang melakukan korupsi (residivis), dengan nilai kerugian negara yang besar, serta terbukti secara meyakinkan (bevond reasonable doubt) telah melakukan korupsi.

Hukuman terhadap Artalyta Suryani, sebagai contoh, mestinya tidak lima tahun penjara, namun hukuman minimal 20 tahun penjara, atau bahkan seumur hidup. Maka, terhadap yang bersangkutan harus diproses pula tindak pidana lain, utamanya pemalsuan dokumen dan sumpah palsu. Lebih jauh sebaiknya sementara waktu ada kebijakan moratorium atau penghentian pemberian pengampunan ataupun pengurangan hukuman, sejenis grasi maupun amnesti kepada terpidana korupsi. Pasti akan ada yang menyoal kebijakan demikian bertentangan dengan hak asasi manusia, namun untuk korupsi yang telah meruntuhkan pilar kehidupan bernegara dan menyebabkan kita menjadi bangsa yang kehilangan martabat, tindakan abnormal demikian merupakan bentuk lain dari diskriminasi positif (affirmative action).

Dalam konteks keluarbiasaan itu pula kita perlu memahami inisiatif KPK yang berniat ikut dalam pembahasan rapat anggaran di DPR. Dalam kondisi normal,inisiatif demikian dapat saja diartikan bentuk intervensi, namun tidak demikian jika ada kesepahaman bahwa rapat anggaran yang tertutup adalah pintu awal kebocoran anggaran negara, dan salah satu penambalnya adalah memberikan ruang gerak kepada KPK untuk menjadi mata dan telinga antikorupsi dalam rapat anggaran.

Tentu saja akan banyak resistensi dari para koruptor di DPR. Namun inilah saatnya bagi anggota DPR antikorupsi untuk bersama-sama KPK melawan dan menyelamatkan lembaga terhormat tersebut dari keadaan terus dijajah para koruptor. Harus dibangun kesepahaman, ini bukan pertarungan antara KPK dan DPR, tetapi lebih tepat merupakan pertempuran hidup-mati antaraKPK vs koruptor di DPR.

Sumber: http://www.kpk.go.id

0 komentar: to “ KPK vs Koruptor DPR so far...