-

Keharusan Mengganti Total Sistem Hukum Sekarang Dengan Sistem Hukum Islam

Selasa, 10 Februari 2009


M. Shiddiq al-Jawi

Pengertian Sistem Hukum

Sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur Hukum (Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975).*1)

Dengan demikian, jika kita berbicara tentang “sistem hukum”, maka ketiga unsur tersebut secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri, tidak mungkin kita abaikan. Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi: kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.*2)
Sistem Hukum Sekarang Wajib Diganti

Sistem hukum yang ada sekarang wajib diganti dengan sistem hukum Islam secara total dan menyeluruh, mengingat setidaknya dua alasan berikut. Pertama, alasan normatif, yaitu sistem hukum sekarang pada dasarnya bertentangan dengan syariah Islam. Kedua, alasan empiris, yaitu sistem hukum yang sekarang telah gagal melakukan penegakan hukum.

Secara normatif, dapat ditegaskan menerapkan hukum Islam adalah wajib dan sebaliknya menerapkan hukum-hukum yang bukan hukum Islam adalah haram. Allah SWT berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 65).

Ayat di atas menegaskan bahwa umat Islam tidaklah dianggap beriman secara sebenar-benarnya sampai berhukum kepada hukum Islam yang dibawa Rasulullah Saw. Maka dari itu, berhukum dengan hukum Islam adalah wajib, sebaliknya berhukum kepada selain hukum Islam adalah haram. Maka, hukum-hukum penjajah buatan manusia wajib ditolak dan tidak boleh diterapkan, karena bukan merupakan hukum Islam.

Tidak dapat diterima dalih yang menyatakan boleh saja mengambil hukum-hukum selain Islam (buatan manusia), selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pendapat ini tidak benar. Sebab “hukum —selain hukum Islam— yang tidak bertentangan dengan hukum Islam” faktanya tetap bukanlah hukum Islam.*3) Sebab hukum Islam (al-hukm asy-syar’i) adalah khithab Asy Syari’ (seruan Allah SWT) yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Selama sebuah hukum tidak bersumber dari khithab Asy Syari’ —yang terwujud dalam Al Kitab dan As Sunnah— maka dari segi apa pun dia bukanlah hukum Islam, walau pun ia tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jadi, yang menjadi masalah itu sebenarnya bukanlah suatu hukum itu bertentangan atau tidak dengan hukum Islam, melainkan apakah suatu hukum itu hukum Islam atau bukan.*4)

Secara empiris, sistem hukum yang ada telah gagal total dalam penegakan hukum. Indikasinya adalah bahwa hukum hanya menjerat kaum lemah, tapi gagal menjerat yang kuat. Itu seperti kata pepatah: Laws are spider webs, they hold the weak and delicate; Who are caught in their meshes, But are torn in pieces by the rich and powerful (Hukum adalah sarang laba-laba, ia menjaring yang lemah dan lunak, tetapi jaring sarang itu akan robek jika ia menjaring “si kaya” dan “penguasa”).*5) Mengomentari kasus Mulyana W. Kusumah yang tertangkap tangan hendak menyuap auditor BPK 8 April 2005 lalu, Hendardi (Ketua PBHI) mengatakan, “[Koruptor] yang besar-besar dan pintar-pintar seperti mantan presiden Suharto, BLBI, tak akan tersentuh. Tapi yang gini-gini, belajaran, tidak pintar, tertangkap juga.” (Jawa Pos, 12 April 2005). Padahal dugaan korupsi KPU “hanya” sebesar Rp. 343 miliar. Sedang taksiran nilai total kekayaan Suharto dan keluarganya yang diduga hasil korupsi adalah sebesar US$ 40 milyar, atau sekitar Rp. 392 triliun (kurs 1 dolar = Rp 9.800) (Newsweek, 26 Januari 1998; George Aditjondro, Indonesian Daily News). Jadi, hasil korupsi Suharto itu sekitar 1143 kali lipat dari nilai korupsi KPU. Tapi, Suharto tidak diapa-apakan, karena dia orang besar, sedang Mulyana W. Kusumah ditangkap, karena dia orang kecil.

Sebelum itu kita masih ingat, kasasi Akbar Tanjung yang dituduh korupsi telah sukses dikabulkan MA. Pada saat yang hampir bersamaan dengan pengabulan itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir malah divonis 1,5 tahun. Sementara mantan presiden Suharto bebas dari proses hukum karena “penyakit baru” ciptaan hakim Lalu Mariyun, yaitu “sakit permanen.” Konglomerat Samadikun Hartono yang korup bebas ke luar negeri dengan alasan sakit. Skandal laporan kekayaan dari Jaksa Agung M.A. Rahman (yang tidak sesuai dengan harta kekayaan sebenarnya), menguap begitu saja. Yang menarik adalah, penerapan hukum yang pilih kasih seperti itu sudah menjadi tradisi kaum Yahudi yang kafir di masa Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw pun menghancurkan tradisi batil itu. Dalam Shahih Muslim, seperti diriwayatkan oleh Barra’ bin Azib ra, Rasulullah Saw di Madinah menjumpai seorang Yahudi pelaku zina yang diberi warna hitam-hitam dan dicambuki. Rasulullah Saw lantas memanggil orang-orang Yahudi dan bertanya, “Apakah memang demikian hukuman pezina yang kalian dapati dalam kitab kalian (Taurat)?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah Saw lalu memanggil salah seorang pemuka agama di kalangan Yahudi dan berkata, “Aku sumpah kamu demi Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah memang demikian itu kalian dapati hukuman pezina dalam kitab kalian?” Orang itu menjawab, “Tidak. Seandainya engkau tidak bersumpah seperti itut, tentu aku tak akan memberitahumu. Kami dapati hukuman bagi pezina adalah rajam. Tapi ternyata banyak orang terhormat dari kalangan kami yang berzina. Maka kalau kami menghukum orang terhormat, kami tinggalkan hukum rajam. Tapi jika kami menghukum rakyat jelata, barulah kami menerapkannya. Lalu kami berkata, ‘Kemarilah, mari kita sepakati saja apa yang akan kita terapkan atas orang terhormat dan rakyat jelata’ Kami lantas menetapkan pemberian tanda hitam-hitam dan cambukan sebagai pengganti rajam.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang pertama yang menghidupkan perintah-Mu tatkala mereka mematikannya.” Setelah itu Rasulullah Saw memerintahkan agar orang Yahudi tadi dirajam [HR. Muslim].*6)

Wajib Diganti Total, Bukan Sekedar Diperbaiki

Melihat kegagalan sistem hukum dalam penegakan hukum di Indonesia itu, sebagian pihak menawarkan reformasi sistem hukum yang ada. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah yang dibutuhkan adalah reformasi sistem hukum? Ataukah justru penggantian sistem hukum secara total?

Reformasi sistem hukum, entah itu reformasi pada struktur, substansi, atau kultur hukum, sebenarnya hanya memperbaiki apa yang ada. Bukan mengganti. Dalam pandangan Islam, upaya perbaikan itu tidaklah mencukupi. Dalam perspektif Islam, khususnya perspektif konsep perubahan Islam, sistem hukum yang ada sekarang haruslah diganti total dengan sistem hukum Islam.

Untuk memahami solusi fundamental itu secara lebih komprehensif, harus dipahami konsep perubahan dalam perspektif Islam, yaitu suatu kaidah atau pedoman Islam mengenai bagaimana kita menjalankan perubahan terhadap sesuatu yang menyimpang dari Islam.

Konsep Perubahan Perspektif Islam

Islam mempunyai konsep yang khas dalam memperbaiki kerusakan atau penyimpangan yang terjadi, baik pada tataran, individu, institusi, masyarakat, atau negara. Secara garis besar, ada dua jenis perubahan dalam Islam, yaitu taghyir (perubahan total), dan ishlah (perubahan parsial).*7)

Taghyir adalah perubahan yang bersifat total yang diawali dari asas (ide dasar/aqidah). Asas ini merupakan ide dasar yang melahirkan berbagai ide cabang. Dalam individu seorang muslim, juga dalam masyarakat Islam, yang menjadi asas, adalah Aqidah Islamiyah. Perubahan total ini tertuju pada kerusakan sesuatu yang bersifat mendasar dan fatal, sehingga harus diadakan perubahan pada asasnya, yang berlanjut pada cabang-cabangnya.

Ishlah adalah perubahan yang bersifat parsial. Asumsinya, asas yang ada masih selamat/benar, atau hanya terkotori oleh sesuatu ide asing. Yang mengalami kerusakan bukan pada asasnya, tetapi cabang-cabangnya. Maka, perubahan parsial ini hanya tertuju pada aspek cabang, bukan aspek asas.

Contoh taghyir: Jika kita hendak memperbaiki perilaku orang kafir (non-muslim) yang tidak shalat, maka perubahan yang dilakukan adalah taghyir. Bukan ishlah. Sebab asas kehidupan orang kafir itu, bukan Aqidah Islamiyah. Maka, haruslah dia diajak secara baik (bukan dipaksa) untuk memeluk Aqidah Islamiyah lebih dahulu, sehingga dia mau mengucapkan syahadat. Inilah perubahan aspek asas. Setelah itu, barulah dia dapat kita ajak untuk melaksanakan shalat lima waktu. Jadi, untuk orang kafir tidaklah tepat kita langsung mengajaknya shalat (melakukan ishlah), tanpa mengubah aspek asasnya lebih dahulu.

Contoh ishlah: jika kita melihat orang Islam yang malas mengerjakan shalat, maka perubahan yang ada adalah ishlah, bukan taghyir. Sebab asas (aqidah) yang dimilikinya masih selamat. Hanya saja dalam hal ini ada penyimpangan pada aspek cabang (pelaksanaan shalat). Untuk muslim yang tidak taat ini, cukup kita ingatkan dia akan aqidah Islam yang diyakininya, memberinya nasihat dan dakwah, agar ketakwaannya subur kembali sehingga dia mau shalat. Jadi, kepada orang muslim ini tidak tepat kita lakukan tahgyir dengan mengubah aqidahnya, sebab aqidahnya sudah benar. Yang diubah atau diperbaiki cukuplah pada aspek cabangnya.

Itulah konsep perubahan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Perhatikanlah sabda Rasulullah Saw kepada Muadz bin Jabal yang beliau utus ke Yaman:

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Maka ajaklah mereka bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Kalau mereka memenuhi seruan itu, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka melakukan shalat lima kali sehari-semalam. Kalau mereka memenuhi seruan itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka…” [HR. Bukhari, hadits no. 686 dan no. 721. HR. Muslim, hadits no. 501].* 8)

Hadits di atas jelas menunjukkan, bahwa untuk melakukan perubahan pada aspek cabang (pelaksanaan shalat dan zakat), tidaklah bisa dilakukan langsung pada orang non-muslim. Tetapi harus diawali dan didahului dengan mengubah aspek asas, yaitu mengajak orang non-muslim untuk memeluk Aqidah Islamiyah.

Metode perubahan pada individu tersebut juga berlaku untuk perubahan pada negara. Sebab sebuah negara pada dasarnya juga didasarkan pada suatu asas, sebagaimana halnya individu. Negara diatur oleh berbagai peraturan yang berpangkal pada konstitusi (UUD). Konsitusi ini lahir dari sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam), dan pada akhirnya sumber-sumber hukum ini berasal dari sebuah asas (ide dasar/aqidah).

Maka dari itu, jika sebuah negara mengalami kerusakan dan penyimpangan, haruslah dilihat dulu faktanya. Apakah negara itu merupakan negara yang berasaskan Aqidah Islamiyah, ataukah sebuah negara yang asasnya bukan Aqidah Islamiyah. Jika asasnya Aqidah Islamiyah, maka negara itu hanya membutuhkan ishlah, bukan taghyir. Negara Khilafah Utsmaniyah di Turki pada abad ke-18 dan ke-19, misalnya membutuhkan ishlah, bukan taghyir. Sebab negara itu asasnya sudah benar, yakni Aqidah Islamiyah. Hanya saja negara tersebut mengalami kemerosotan dalam pemahaman Islam dan penerapannya dalam realitas kehidupan. Maka dari itu, tidak tepat jika dilakukan upaya taghyir, dengan mengubah sistem kenegaraan secara total, seperti yang dilakukan Musthofa Kamal Ataturk yang mengganti sistem Khilafah dengan sistem republik sekuler. Upaya ini jelas salah alamat. Ini seperti halnya ada orang muslim yang malas shalat, lalu diperbaiki dengan cara dimurtadkan sekalian. Padahal seharusnya cukup dinasehati dan didakwahi.

Adapun jika negara yang ada tidak didirikan atas asas Islam, seperti negara-negara yang ada di Dunia Islam saat ini, maka yang diperlukan bukanlah ishlah, tetapi taghyir. Jika sebuah negara mengalami kerusakan dalam sistem hukumnya, misalkan, maka mereformasi sistem hukumnya tidaklah cukup. Apalagi sekedar struktur atau kelembagaannya. Yang wajib dilakukan adalah melakukan taghyir yang total, sejak dari asasnya yang kemudian menjangkau asas-asasnya, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pendidikan, dan seterusnya. Maka dari itu, tidaklah benar jika untuk negara semacam ini dilakukan ishlah, yaitu hanya sekedar memperbaiki sistem hukumnya, tanpa mengubah keseluruhannya sejak dari asas. Ini tak ubahnya seperti mengajak orang kafir untuk shalat. Padahal seharusnya dia harus diajak lebih dulu masuk Islam.

Kesimpulan

Atas dasar seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa sistem hukum yang ada wajib diganti secara total dengan sistem hukum Islam. Dengan kata lain, solusi Islam terhadap sistem hukum Indonesia yang nyata-nyata tidak Islami dan gagal dalam penegakan hukum, adalah melakukan perubahan dengan jalan taghyir (perubahan total), bukan dengan jalan ishlah (perbaikan, perubahan parsial).

Maka dari itu, memperbaiki sistem hukum yang ada sekarang tidaklah cukup, tetapi harus diganti secara total dengan sistem hukum Islam secara keseluruhan mulai dari asasnya. Sebab asas itulah yang melahirkan sumber-sumber hukum, yang selanjutnya akan melahirkan undang-undang dasar dan segala macam perundang-undangan lainnya untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Perubahan total sistem hukum ini akan berjalan seiring dengan perubahan sistem-sistem sosial lainnya yang juga berubah menjadi sistem yang Islami, seperti lahirnya sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan sistem pendidikan Islam. Untuk mengawali perubahan total ini, harus ada upaya untuk memantapkan asas kehidupan Islam, yaitu Aqidah Islamiyah, seraya membersihkan benak umat dari ide asing yang mengaburkan Aqidah Islamiyah, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) beserta segala pemikiran derivat-derivatnya.[ ]

Catatan Kaki:
1. Ahmad Ali, Reformasi Komitmen dan Akal Sehat dalam Reformasi Hukum dan HAM di Indonesia, makalah Seminar Nasional “Meluruskan Jalan Reformasi”, UGM, Yogyakarta, 25-27 September 2004 (http://ugm.ac.id/seminar/reformasi/i-ahmad-ali.php).
2. Ibid.
3. Ismail Muhammad Syah dkk: “Bagi negara Pancasila, kekuasaan membuat undang-undang ada pada rakyat. Akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa….Dan hukum yang dibuat oleh manusia tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan.” Lihat Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara & Dirjen Binbaga Depag RI, 1992), hal. 215.
4. Abdul Qadim Zallum, “Akhdzu Al-Qawanin Al-Gharbiyah” Kayfa Hudimat Al Khilafah, hal. 47-58.
5. Ahmad Ali, op.cit.
6. Ali Belhaj, Menegakkan Kembali Negara Khilafah Keajiban Terbesar dalam Islam (Tanbih al-Ghafilin wa I’lam al-Ha`irin bi anna I’adah al-Khlafah min a’zham Wajibat Hadza al-dini), alih bahasa M. Shiddiq Al-Jawi, Cet. I, (Bogor : Thariqul Izzah, 2001), hal. 9-10
7. Ahmad Al-Mahmud, Ad-Da’wah Ila Al-Islam, Darul Ummah, Beirut, 1995, hal. 305.
8. Imam Baihaqi, Bingkisan Seberkas 77 Cabang Iman (Mukhtashar Syu’abul Iman li Imam Al-Qazwini), hal. 72-73

Sumber; http://ngikngik.wordpress.com