Analisis Undang-undang No.30 Tahun 2002 Tentang KPK
Kamis, 08 Januari 2009
Ini merupakan analisis sederhana, yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang peduli pada perkembangan demokrasi di Indonesia, khususnya dibidang hukum, sebagai wujud kepedulian terhadap usaha penegakan supremasi hukum di negeri ini. Semua kita mempunyai hak untuk mengkritisi undang-undang, secara jujur dengan alasan serta pertimbangan yang logis. Sehingga analisis serta kritik terhadap undang-undang akan bermuara pada perbaikan sistem hukum di Indonesia dan persamaan hak di depan hukum yang kita cita-citakan selama ini akan menjadi kenyataan.
Berikut beberapa hal yang perlu kita cermati dalam substansi Undang-undang No 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Esensi
Sekedar mengingatkan, bahwa di republik ini ada sebuah undang-undang yang sejumlah pasalnya bertentangan dengan konstitusi kita. Mengapa ini perlu dikritisi? Ada beberapa hal penting yang menjadi alasan mengapa pasal-pasal dalam UU No. 30 perlu di kritisi yaitu: Pertama, karena kita tidak menghendaki terjadinya pelanggaran terhadap konstitusi. Kedua, pelanggaran itu membuka peluang bagi timbulnya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya. Kesewenang-wenangan itu, dalam hal ini, mengatasnamakan upaya pemberantasan korupsi, yang dilengkapi dengan justifikasi extraordinary crime segala.
Ketiga, menghindari masyarakat dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar.
Persoalannya bukan pada pemberantasan korupsi, tapi lebih pada peraturan pemberantasan korupsi yang bertentangan dengan undang-undang dasar.
Diskriminasi
Salah satu pasal yang dinilai diskriminatif pada UU Nomor 30 Tahun 2002 itu adalah Pasal 40 yang tidak memberi wewenang kepada KPK untuk mengeluarkan SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Pasal 40: Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam
perkara tindak pidana korupsi.
Artinya, seorang yang disangka melakukan tindak korupsi, maka bagaimanapun juga kasusnya harus sampai ke pengadilan. Orang-orang KPK membenarkan hal ini dengan alasan untuk mencegah KPK menangkap orang secara sembarangan. Kalau benar seperti itu, maka maksud tersebut sungguh mulia sekali.
Akan tetapi selain itu masih ada pembenaran lain yang tidak kalah mulianya, yaitu asas praduga tak bersalah. Kita semua tahu bahwa dalam asas ini, yang boleh menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak, adalah pengadilan. Sebelum pengadilan memutuskan seseorang itu bersalah, maka ia belum bersalah. Jadi yang menentukan seseorang itu bersalah atau tidak, bukanlah satu atau dua orang penyidik KPK yang penguasaan hukumnya belum sekuat majelis hakim.
Dengan tidak dimilikinya wewenang pemberian SP3 itu oleh KPK, maka timbullah diskriminasi hukum terhadap warga negara. Di samping itu terjadilah pula dualisme dalam sistem peradilan kita. Dalam hal ini, apabila ada dua orang yang disangka melakukan korupsi, maka mereka diadili dengan undang-undang yang sama, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999. Tetapi lembaga yang mengadilinya bisa berbeda. Yang satu diadili oleh peradilan umum, sedangkan yang lain diadili oleh Pengadilan Tipikor.
Tersangka yang diadili oleh peradilan umum dapat menikmati SP3; wujudnya adalah si tersangka bisa tidak ditahan. Kalau sudah ditahan pun masih mungkin dikenakan tahanan luar. Akan tetapi tersangka yang diadili oleh pengadilan Tipikor, tidak akan pernah diberikan SP3, sekalipun dia belum terbukti bersalah.
Apakah UUD 1945 membolehkan negara melakukan diskriminasi terhadap warga negara? Jawabannya, terang benderang. Tidak boleh. Silakan lihat Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 di mana dinyatakan bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Begitu juga Pasal 28I ayat 2 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Pelanggaran HAM
Seorang Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, sering mengatakan bahwa seseorang yang ditangkap oleh KPK karena disangka melakukan korupsi, dapat dipastikan 99 persen bersalah alias masuk penjara. Jadi kemungkinan orang tersebut tidak bersalah hanya tinggal satu persen saja! Nah, kalau sudah begitu, buat apa orang itu diadili lagi? Bukankah itu hanya menghambur-hamburkan uang rakyat saja?
Atau, dengan kemungkinan tidak bersalah yang satu persen itu barangkali kita hendak menunjukkan kepada rakyat dan dunia luar bahwa negara kita adalah negara hukum? Justru sebaliknya. Yang kita perlihatkan adalah bahwa negara kita adalah negara yang tidak menjunjung hukum, kalau tidak mau dikatakan sebagai negara yang melecehkan hukum.
Sebab, bagaimana mungkin suatu proses yang menentukan kehidupan selanjutnya dari seorang warga negara, keterlibatan pengadilan hanya satu persen, yaitu sekadar untuk mewarnai saja. Padahal pengadilan mempunyai perangkat yang lengkap, yang terdiri atas para hakim, jaksa penuntut umum, dan penasihat hukum atau pembela terdakwa.
Tentu saja ini akibat dari Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu yang mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor ini “bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Tidak perlu dibantah bahwa dengan adanya Pasal 53 ini di dalam undang-undang tersebut, secara eksplisit mengungkapkan pembentukan Pengadilan Tipikor adalah dalam rangka pembentukan KPK atau demi terlaksananya tugas komisi tersebut.
Keberadaan Pengadilan Tipikor dalam kerangka pembentukan KPK itu jangan hanya dikaitkan dengan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 begitu saja. Masalahnya adalah Pengadilan Tipikor dibentuk dalam kaitan dengan KPK, yang notabene merupakan lembaga eksekutif. Dengan keterkaitan itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 itu “membatasi” kewenangan Pengadilan Tipikor, yaitu hanya sebagai kepanjangan tangan KPK.
Dengan demikian, terjadilah pemilikan sebagian kekuasaan yudikatif oleh eksekutif, dalam hal ini KPK. Dengan kata lain, pasal-pasal UU Nomor 30 Tahun 2002 memberi kewenangan kepada KPK untuk mengintervensi kekuasaan yudikatif. Apakah itu tidak melanggar konstitusi? Simaklah bunyi Pasal 24 ayat 1 UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Dengan intervensi itu, maka KPK mempunyai wewenang superbody untuk menyelidiki, menyidiki, dan menuntut, serta dilengkapi dengan kekuasaan untuk mengadili. Apakah konstitusi kita mengenal keberadaan lembaga yang bersifat superbody? Siapa yang dapat menjamin bahwa kekuasaan yang menumpuk pada superbody itu tidak akan menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang? Di situlah terbuka peluang terjadinya pelanggaran HAM, yang sesungguhnya dilindungi oleh konstitusi (Pasal 28A s/d 28J UUD 1945).
Mengangkangi UUD
Semua peraturan perundang-undangan yang bertantangan dengan Undang-undang Dasar bukankah telah mengangkangi atau melecehkan Undang-undang dasar. Adalah tugas segenap warga negara untuk melindungi konstitusi dari ajaran keliru dalam bidang hukum. Adalah pula suatu kehormatan bagi para pakar Hukum Tata Negara untuk melindungi konstitusi, sehingga terbebas dari kekeliruan itu.
Oleh karena itu sudah sepantasnyalah Mahkamah Konstitusi sesuai dengan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yaitu “untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian bangsa kita dapat terhindar dari kesalahan besar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Sumber Asli
0 komentar: to “ Analisis Undang-undang No.30 Tahun 2002 Tentang KPK ” so far...
Posting Komentar